Pesantren, Sistem Pendidikan Asli Indonesia
Pondok Pesantren (Ponpes) masih menjadi pilihan masyarakat untuk
mendidik putra-putri mereka. Apalagi, dengan banyaknya ponpes yang
berwajah modern, makin banyaklah anak bangsa yang berkesempatan
mengenyam pendidikan agama tanpa melupakan pendidikan umum.
Berdasarkan pendataan ponpes 2010-2011 dari Kementerian Agama,
terdapat 27.218 ponpes yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah santri
secara keseluruhan bahkan mencapai 3.642.738 orang.
Secara bahasa, pondok berarti tempat tinggal atau bangunan sementara. Pondok dalam bahasa arab disebut al fundduq yang bermakna asrama, tempat penginapan sementara. Adapun pesantren dari kata 'pe-santri-an' yang bermakna tempat para santri.
Secara bahasa, pondok berarti tempat tinggal atau bangunan sementara. Pondok dalam bahasa arab disebut al fundduq yang bermakna asrama, tempat penginapan sementara. Adapun pesantren dari kata 'pe-santri-an' yang bermakna tempat para santri.
Santri, menurut Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren, berasal
dari kata 'sant' yang bermakna manusia baik dan 'tri' yakni suka
menolong. Sehingga, santri berarti manusia baik yang suka menolong
secara kolektif. Adapun Abdurrahman Mas'oed dalam Sejarah dan Budaya
Pesantren memaknai santri sebagai orang yang mencari pengetahuan Islam.
Sehingga, pesantren mengacu pada tempat di mana para santri tinggal dan
mendapat pelajaran.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Clifford Geertz justru memaknai terminologi santri dari bahasa Sanskerta 'shastri' yang berarti ilmuan yang terpelajar dan pandai menulis. sedangkan CC Berg. Ia memaknai santri dari 'shastri', yakni orang yang ahli kitab suci Agama.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Clifford Geertz justru memaknai terminologi santri dari bahasa Sanskerta 'shastri' yang berarti ilmuan yang terpelajar dan pandai menulis. sedangkan CC Berg. Ia memaknai santri dari 'shastri', yakni orang yang ahli kitab suci Agama.
Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional
Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia
mengatakan, informasi tentang asal-usul lembaga pesantren sangat
sedikit, bahkan tidak diketahui kapan lembaga tersebut mula-mua
didirikan.
Terdapat pendapat bahwa pesantren merupakan kelanjutan dari lembaga
serupa yang pernah ada pada masa pra Islam. Menurut Sugarda Purbakawaca,
pesantren lebih mirip lembga pendidikan Hindu ketimbang lembaga
pendidikan Arab. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sutejo
Brodjonegara yang menyatakan bahwa sistem pendidikan pesantren aslinya
bukan berasal dari Arab, tetapi Hindu.
"Pendapat-pendapat tersebut bersifat spekulatif yang mungkin ada benarnya karena terdapat indikasi bahwa tempat-tempat pertapaan pra Islam tetap bertahan beberapa waktu setelah Jawa diislamkan. Bahkan, tempat pertapaan yang baru terus didirikan. Namun, tidak jelas apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan tempat pengajaran agama Islam berlangsung," tulis Marwati dan Nugroho.
Dari survei Belanda pertama mengenai pendidikan pribumi yang diadakan pada 1819 disebutkan, pesantren yang sebenarnya pada waktu itu belum ada di seluruh Jawa. Lembaga-lembaga pendidikan yang mirip pesantren dilaporkan terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo. Di daerah lain tidak terdapat pendidikan resmi sama sekali, kecuali pendidikan informal yang diberikan di rumah-rumah pribadi dan masjid. Adapun pesantren tertua yang dapat diketahui tahun berdirinya adalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh Sultan Paku Buwono II pada 1742 sebagai tanda terima kasih kepada Kyai Hasan Besari. Paku Buwono II juga membangun masjid dan asrama untuk santri.
Walisongo
Menurut Abdurrahman Mas'ud dalam Intelektual Pesantren-Perhelatan Agama dan Tradisi, asal usul pesantren berkaitan dengan kehadiran walisongo di abad 15-16 Masehi di Pulau Jawa. Menurutnya, para walisongo memadukan aspek agama dan sekuler untuk mengajarkan Islam di tengah masyarakat. Maka, dihasilkan sebuah lembaga pendidikan yang unik. Dari gaya pengajaran walisongo, ponpes yang tumbuh pun terus mengacu pada gaya walisongo.
Menengahi beragam pendapat, Haedari Amin dalam Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global menuturkan, perbedaan pendapat tidaklah membenarkan salah satunya. Beragam pendapat, kata Amin, memiliki sisi kebenaran.
"Pendapat-pendapat tersebut bersifat spekulatif yang mungkin ada benarnya karena terdapat indikasi bahwa tempat-tempat pertapaan pra Islam tetap bertahan beberapa waktu setelah Jawa diislamkan. Bahkan, tempat pertapaan yang baru terus didirikan. Namun, tidak jelas apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan tempat pengajaran agama Islam berlangsung," tulis Marwati dan Nugroho.
Dari survei Belanda pertama mengenai pendidikan pribumi yang diadakan pada 1819 disebutkan, pesantren yang sebenarnya pada waktu itu belum ada di seluruh Jawa. Lembaga-lembaga pendidikan yang mirip pesantren dilaporkan terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo. Di daerah lain tidak terdapat pendidikan resmi sama sekali, kecuali pendidikan informal yang diberikan di rumah-rumah pribadi dan masjid. Adapun pesantren tertua yang dapat diketahui tahun berdirinya adalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh Sultan Paku Buwono II pada 1742 sebagai tanda terima kasih kepada Kyai Hasan Besari. Paku Buwono II juga membangun masjid dan asrama untuk santri.
Walisongo
Menurut Abdurrahman Mas'ud dalam Intelektual Pesantren-Perhelatan Agama dan Tradisi, asal usul pesantren berkaitan dengan kehadiran walisongo di abad 15-16 Masehi di Pulau Jawa. Menurutnya, para walisongo memadukan aspek agama dan sekuler untuk mengajarkan Islam di tengah masyarakat. Maka, dihasilkan sebuah lembaga pendidikan yang unik. Dari gaya pengajaran walisongo, ponpes yang tumbuh pun terus mengacu pada gaya walisongo.
Menengahi beragam pendapat, Haedari Amin dalam Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global menuturkan, perbedaan pendapat tidaklah membenarkan salah satunya. Beragam pendapat, kata Amin, memiliki sisi kebenaran.
"Kedua pendapat ini saling mengisi dan pesantren memang tidak bisa
dilepaskan dari unsur-unsur Hindu yang sudah lebih awal ada di Indonesia
dan unsur-unsur Islam Timur Tengah di mana Islam berasal," tuturnya.
Terlepas dari asal-usul pesantren yang beragam, Amin mengatakan, pesantren menjadi akar dalam pendidikan Islam di Indonesia. Pasalnya, pesantren dianggap sebagai metode pendidikan kelahiran Indonesia. Dalam perkembangannya, maka lahirlah madrasah dan sekolah Islam. "Berbicara mengenai akar sejarah pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pesantren. Karena Pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan asli Indonesia," tuturnya.
Pengajaran di pesantren hampir seluruhnya dilakukan dengan pembacaan kitab. Terdapat dua metode yang selalu digunakan ponpes, yakni sorogan dan bandongan atau weton. Metode sorogan yakni santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kiai membacakan pelajaran berbahasa Arab kalimat demi kalimat kemudian menerjemahkannya dan menerangkan maksudnya.
Adapun metode bandongan yakni metode kuliah. Dalam metode ini, para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran secara kuliah.
Terlepas dari asal-usul pesantren yang beragam, Amin mengatakan, pesantren menjadi akar dalam pendidikan Islam di Indonesia. Pasalnya, pesantren dianggap sebagai metode pendidikan kelahiran Indonesia. Dalam perkembangannya, maka lahirlah madrasah dan sekolah Islam. "Berbicara mengenai akar sejarah pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pesantren. Karena Pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan asli Indonesia," tuturnya.
Pengajaran di pesantren hampir seluruhnya dilakukan dengan pembacaan kitab. Terdapat dua metode yang selalu digunakan ponpes, yakni sorogan dan bandongan atau weton. Metode sorogan yakni santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kiai membacakan pelajaran berbahasa Arab kalimat demi kalimat kemudian menerjemahkannya dan menerangkan maksudnya.
Adapun metode bandongan yakni metode kuliah. Dalam metode ini, para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran secara kuliah.
0 Comments:
Posting Komentar