ULAMA’ DAN AULIYA’
Oleh : Alfaqiir KH.Ahmad Ulinnuha Rozy
MUQODDIMAH
“Aswaja”
juga di kenal dengan kekuatan budaya Ta’dzimnya terhadap para ‘Ulama’ dan atau
Auliya’. Ta’dzim khas Aswaja ini (khususnya di Indonesia) dalam praktek dan
wujudnya nampak berbeda dengan golongan yang lain. Sehingga karenanya sering
mendapatkan sorotan atau kritikan khusus dengan istilah istilah kekinian.
Seperti, Mengkultuskan, Feodal, Tidak modern dan lain sebagainya. Penggeseran
nilai nilai Ta’dzim pun dari jarak jauh dan cara yang nyamar terus di lakukan
oleh pengingkar budaya luhur ini. Dan pelan namun pasti, target mereka sudah
mulai nampak hasilnya. Maka, ada sesuatu yang harus di luruskan, agar kita
tidak ikut ikutan bengkok akibat pengkaburan tata nilai yang telah terbangun
kuat dan mendasar ini.
ULAMA’
DALAM PRESPEKTIF AGAMA
‘Ulama
adalah shighot Jama’ Taksir dari kata mufrod ‘Aalim, yang bermakna : Orang yang
ber-Ilmu. Dari sisi bahasa, kata “Ulama’” (Orang ‘Alim) ini sangat luas
liputannya bahkan cenderung kabur dan tidak jelas, Sebab siapapun orang orang
yang ber-Ilmu, dan ber-Ilmu apapun itu sah di sebut ‘Ulama’. Ini pengertian
luas dari sudut pandang ke-bahasa-an. Akan tetapi, arti ke-bahasa-an tersebut
akan menjadi sempit, terbatas dan kian jelas apabila rujukannya adalah
Al-Qur’an.
Dalam
prespektif atau pandangan Al-Qur’an, Orang orang yang layak di
sebut/mendapatkan gelar kehormatan dan derajat ‘Ulama’ adalah : Orang yang
ber-ilmu, yang dengan Ilmunya itu mengantarkanya selalu ingat kepada Alloh,
kian mendekatkannya kepada Alloh, semakin kuat kebaktian, pengabdiannya kepada
Alloh dan membuat hidupnya lebih banyak bermanfaat untuk sesama :
“Memasyarakatkan Agama dan Meng-Agama-kan Masyarakat”. Inilah ciri cirri orang
yang layak di sebut ‘Ulama’ yang dalam bahasa jawanya di sebut “Kyai”
Wal-Hasil,
’Ulama atau Kyai itu bukan Gelar Akademik, bukan kedudukan, bukan
pangkat/jabatan, juga bukan titel !
‘Ulama’/Kyai adalah Derajat dan Sebutan kehormatan untuk orang orang
yang memenuhi kriteria tersebut di atas karena basisnya adalah ummat, di
legitimasi oleh ummat dan SK nya tanpa tertulis dari Alloh melalui lisan ummat.
AULIYA’
DALAM PRESPEKTIF AGAMA
AULIYAA’
adalah shighot Jama’ Taksir dari kata mufrod “Waliyyun”. Yang memiliki arti :
Yang mencintai, Yang di Cintai, Yang di lindungi, Yang dekat. Ia adalah lawan
kata “’Aduwwun” yang berarti “Musuh”. Arti ke-Bahasa-an ini selaras dengan
pengertian ke-Agama-an.
Kemudian,
Konotasi baik dan buruknya makna “Waly” ini juga bergantung pada kata yang di
sambungkan setelahnya, misalnya, WaliyyuLLoh atau WaliyyuSsyaithon.
Kesan
umum istilah “Waliy” ini adalah Waly Alloh. Berarti, “Orang yang mencintai dan di cintai Alloh
SWT./Orang yang di lindungi oleh Alloh dan Orang yang dekat dengan Alloh”.
Derajat
Ke-Wali-an ini tidak di raih dengan tingginya ke-ilmu-an, Tingginya kesaktian,
Banyaknya tamu dan santri atau pakaian. Tetapi hanya dapat di sandang oleh
orang yang sungguh sungguh dan ikhlas di dalam mengabdi kepada Alloh SWT.
TA’DZIM
KEPADA ULAMA’ DALAM PANDANGAN SYARI’AT
Di
dalam Al-qur’an Al-kariim ada beberapa ayat yang menegaskan tentang keharusan
Ta’dzim pada “Sya’a-iroLLoh” (Segala hal yang menjadi Syi’ar agamanya Alloh).
Antara lain ada pada surat,,, Ayat… Yang artinya : “Barang siapa ber-Ta’dzim
kepada Syi’ar Syi’ar agamanya Alloh, Maka sesungguhnya itu termasuk pertanda
adanya ketaqwaan di dalam hatinya”.
Apakah
arti dan pengertian Syi’ar itu ? Syi’ar itu artinya : Tanda atau simbol symbol
agama dan kebesaran Alloh SWT.
Dalam
tinjauan Tafsir, ”Syi’ar” atau tanda dan symbol agama itu meliputi Dua macam :
1.
Berupa benda
mati. Seperti Ka’bah, Maqom Ibrohim, Hijir Isma’il, Shofa, Marwah, Masjid
Masjid, dan lain lain.
2.
Berwujud Manusia.
Yaitu para Nabi, Rosul Alloh, Para Ulama’, Para Orang orang Sholih, Dan para
Waly Alloh
Adapun
dalil dalil agama,baik dari Al-qur’an atau Al-Hadits yang menerangkan tentang
kemuliyaan dan keutamaan para Ulama’ sangat banyak sekali walaupun tidak
memungkinkan untuk di sebutkan di sini.
Lalu,
Bagaimana prakteknya Ta’dzim ? Dalam rangka mentaati Alloh dan Rosul-Nya ?
Ta’dzim dalam wilayah praktek, bentuk dan sifatnya tentu tidak ada petunjuk
Tehnis langsung dari Alloh atau Kanjeng Nabi (Itu tidak mungkin). Oleh
karenanya, Sifat, cara, bentuk, praktek dan tehnisnya Ta’dzim adalah sepenuhnya
di serahkan pada Budaya atau Adat Istiadat ummat setempat. Sehingga sangat
mungkin beda daerah dan Negara, juga berbeda dalam hal cara, bentuk dan praktek
Ta’dzimnya. Tetapi nilai, inti dan substansinya sama. Yaitu “Menunjukkan rasa
Ta’dzim”.
Dalam
hali ini Landasan formalnya yaitu sabda Rosulillah Muhammad SAW. yang artinya :
”Segala
hal yang di pandang baik oleh kalangan ummat Islam secara umum,berarti juga di
nilai baik oleh Alloh”
Dengan
demikian, Ta’dzim pada Ulama/Auliyaa’ adalah Wajib, Sebab praktek lawan katanya
adalah Harom.
Sikap
; Berlaku sopan santun, Mencium tangan, Unggah ungguh adalah perwujudan dari
rasa Ta’dzim tersebutSekaligus menunjukkan tata krama dan berbudaya atau
ber-Akhlaq Karimah.



Komentar
Posting Komentar