JANGAN RAGU MERAYAKAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW.
Perayaan Maulid Nabi Muhammad
Saw,selain mendasar pada beberapa ayat Al-qur'an, juga didasarkan pada
hadits-hadits shahih. Antara lain hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ
عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « مَا هَذَا
الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللهُ فِيهِ
مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ
نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « فَنَحْنُ أَحَقُّ
وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Ibnu Abbas RA. meriwayatkan
bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah, kaum
Yahudi sedang berpuasa Asyura'. Rasulullah saw bertanya: “Hari apa kalian
berpuasa ini?” Mereka menjawab: “Ini hari agung, Allah menyelamatkan Musa dan
kaumnya, menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, lalu Musa berpuasa karena
bersyukur kepada Allah, maka kami juga berpuasa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda : “Kami lebih berhak mensyukuri Musa dari pada kalian.”
Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa Asyura'.”
(HR. Muslim).
Dalam hadits shahih di atas,
selamatnya Nabi Musa ‘alaihissalam dari kejaran Raja Fir’aun, serta tenggalamnya
Fir’aun dan kaumnya, telah dijadikan momentum oleh Nabi Musa ‘alaihissalam dan
kaumnya untuk di rayakan setiap tahun dengan cara berpuasa. Lalu Nabi saw
membenarkan puasa tersebut, dan bahkan beliau melakukan dan memerintahkan umat
Islam agar berpuasa pada hari Asyura' setiap tahun.
Sudah barang tentu, lahirnya
Kanjeng Nabi Saw.Jelas LEBIH UTAMA untuk dijadikan momentum sebagai hari raya
dalam setiap tahun, karena derajat beliau yang lebih mulia dan lebih utama dari
pada nabi-nabi yang lain termasuk Nabi Musa ‘alaihissalam.
Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu
Hajar al-‘Asqalani berkata:
“فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ للهِ عَلىَ مَا مَنَّ بِهِ فِيْ
يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ، أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ، وَيُعَادُ ذَلِكَ
فِيْ نَظِيْرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلَّ سَنَةٍ،
وَالشُّكْرُ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ
الْعِبَادَةِ… وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنَ النِّعْمَةِ بِبُرُوْزِ هَذاَ النَّبِيِّ
نَبِيِّ الرَّحْمَةِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ"
“Dari hadits tersebut dapat
diambil kesimpulan tentang perbuatan bersyukur kepada Allah karena karunianya
pada hari tertentu berupa datangnya kenikmatan atau tertolaknya malapetaka, dan
perbuatan syukur tersebut diulangi pada hari yang sama dalam setiap tahunnya.
Bersyukur dapat terlaksana dengan beragam ibadah… Kenikmatan apa yang kiranya
lebih agung dari pada kenikmatan berupa lahirnya Kanjeng Nabi sang pembawa
rahmat shallallahu ‘alaihi wasallam ini”
Pemahaman kontekstual semacam
ini, dalam ilmu ushul fiqih, disebut dengan Qiyas Aulawy, dimana hukum yang
dianalogikan lebih kuat dari pada hukum asal yang menjadi patokan analogi.
Syaikh Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa-nya (jua 21 hal. 207), menganggap bahwa hukum yang
disimpulkan dari pemahaman kontekstual (mafhum) melalui Qiyas Aulawy, lebih
kuat dari pada hukum yang diambil pemahaman tekstualnya (manthuqy). Menurutnya,
penolakan terhadap hukum yang dihasilkan melalui Qiyas Aulawy, termasuk bid’ah
kaum literalis (zhahiriyah) yang tercela.
Padahal Syaikh Ibnu Taimiyah
adalah salah satu dari ulama panutannya kaum Salafi/ Wahabi.
Demikian, semoga bermanfaat.
Wallahu A'lamu Bishshawàb



Komentar
Posting Komentar